Tuhan yang ciptakan?

Wikipedia:Rain

Bayangkan soal ulangan/ujian seorang anak SD:

Pertanyaan: “Dari mana asal hujan?”
Jawaban: “Dari Tuhan. Tuhan yang ciptakan”
Pertanyaan: “Bagaimana proses terjadinya hujan?”
Jawaban: “Misteri Tuhan”

Kalau jawaban-jawaban tersebut tidak bisa dipakai untuk menjelaskan tentang munculnya hujan, mengapa itu bisa digunakan untuk menjawab misteri-misteri alam lainnya?

Seandainya kamu jadi Tuhan, kamu mau ngelakuin apa?

Image

Pertanyaan: Pernah nonton Bruce Almighty kan. Kalo seandainya kamu diberi kekuatan menjadi Tuhan/ Dewa/ Dewi, kamu mau ngelakuin apa?

Jawaban politisi (yang susah dipercaya): Mau menghapus semua kesengsaraan di bumi dengan kekuatan yg saya miliki. With great power comes great responsibility.. *sambil berayun dari gedung ke gedung dgn jaring laba-laba*

Jawaban ilmuwan: Mau lompat-lompat dari planet ke planet, tatasurya ke tatasurya, galaksi ke galaksi, mencari makhluk hidup lain selain manusia. To boldly go where no man has gone before.. *duu.. duu.. dududududuuu..* (sountrack Startrek mulai)

Jawaban Nobita: Mau terbang dengan baling-baling bambu bersama Doraemon. “Aku ingin begini.. Aku ingin begitu.. Ingin ini ingin itu banyaak sekaliiii…”

Jawaban gamer (game-game yang Rated R untuk kekerasan): Mau nembak-nembakin orang-orang dan tentara-tentara dengan petir dari tanganku. “Die.. you mortals dieee..!!”

Jawaban orang baik dan jujur: Bunuh diri saja sebelum aku membuat orang lain sengsara

Burqa, a preference?

 

Image

Burqa is not about preference, I think the fact that burqa exists is a gross insult to women everywhere. Of course people are free to wear any kind of clothes they want, but if a woman feel so insecure or paranoid that she want to cover all part of her body except her eyes, I’d think that we would help her to be more confident in some way instead of just let her be like that, right?

But no, I don’t think burqa is about preference, or being shy, no no. I think it’s about false religious belief and local societal pressure to wear it. Try this, next time you see some women wear burqa, look into their eyes, their beautiful eyes.. Yes, surprise surprise. Some of them wear extensive make up to make their eyes look dazzling. They want to look pretty, but because they were forced to wear burqa, the eyes is the only thing they can show to the world. Isn’t it sad? 

Now let’s do something and get them out from that garment cage we call “burqa”..

The Devil, our silent guardian

~ by someone at facebook

Actually, the devil gave humans critical thinking, which God didn’t want. He wanted us to not eat from the tree of knowledge of whatever-the-hell so we could basically be thought-slaves for eternity, but the devil did us a favor and turned the table there with a single conversation.

Also, the devil killed a grand total of 10 people in the Bible, while God killed somewhere around 2.3 million.

He understands human nature, but doesn’t judge you for being human. He accepts God’s unwanted children unconditionally.

And still, he’s the dickhead. Why? Because he can take it. Because he’s not our hero. He’s our silent guardian. A watchful protector.

A dark knight.

Apakah agama buat orang berlaku jahat?

Ada dua macam pernyataan, berlaku untuk agama tertentu atau bisa juga semua agama:

1). Agama (pasti) buat semua orang jadi jahat
– Misal: “Islam adalah agama teroris”, “Semua muslim pro-kekerasan, bom bunuh diri”.

2). Agama (pasti) buat semua orang jadi baik
– Misal: Segala kekerasan dan terorisme tidak ada hubungan dgn Islam, Crusade dan perang suci tidak ada hubungan dgn Vatikan. Orangnya yg jahat, bukan agamanya.

Banyak orang menuduh kita-kita yg mengkritik agama bahwa kita generalisasi dgn mengambil posisi 1. Mereka biasa bilang: “Kenapa berpendapat seperti itu?”, “Apakah kalian menutup mata terhadap keberadaan muslim2 yg baik pd sesama?, yayasan amal islam?”. Tetapi kemudian orang-orang yg sama mengambil posisi 2. “Tidak ada yg salah dengan Islam” atau “… dgn Kristen”, dsb.

Kenyataannya, orang harus sadar bahwa kedua posisi tersebut adalah Generalisasi, dan keduanya tidak benar. Agama (semua agama/ semua aliran dari suatu agama) memang tidak buat semua penganutnya jadi teroris, tetapi agama juga tidak ‘innocent’ dlm banyak tindakan diskriminasi, kekerasan, dan tindakan terorisme yg terjadi sepanjang sejarah manusia.

Pada saat kita melakukan generalisasi, kita jadi melewatkan kesempatan berharga untuk mengamati lebih jeli, lebih dalam, lebih akurat tentang kenyataan yg ada. Ada elemen-elemen dalam agama yg mendorong adanya kepatuhan total dari penganutnya, dimana beberapa ayat-ayat ‘suci’ yg problematis bisa mempengaruhi perilaku ataupun norma-norma kemanusiaan seseorang. Selain itu juga ada berbagai macam agama dan aliran dari suatu agama, Timur dan Barat (dan Timur Tengah), tanpa Tuhan satu Tuhan atau banyak Tuhan, dgn blasphemy law ataupun tidak, penekanan pd kepatuhan atau pd meditasi, dll. Khusus soal “mendorong adanya kekerasan”, agama satu dan yg lainnya tidak sama atau setara, aliran satu dan yg lainnya juga tidak sama atau setara.

Jadi, sekali lagi, pernyataan 1 dan 2 adalah generalisasi dan salah. Ada jalan lain yang lebih baik, ada pilihan ke tiga:

3). Amati bagian apa yg ada di dalam agama (organisasi, komunitas, ataupun ajarannya) yg buat orang jadi baik, apa yg buat orang jadi jahat. Bersikap jujur pada saat menilai agama, dan hindarkan generalisasi. Amati bagian apa, ajaran apa, ayat mana, kitab mana, atau aliran mana yg bermasalah dan berikan penilaian pada bagian tersebut.

Why I Left Religion

There are 3 things that are important for you to know:
  1. You can believe anything you want, it’s your basic human right.
  2. But don’t forget your beliefs always influence your actions.
  3. The only way to become a better person is for you to learn. Because of (2), to make a progress, you always need to revise what you believe, what you know, about anything. You can’t stop. You have to progress. Because of (1), nothing is out of limit,  “the sky is your limit”.
So, why I left religion?
– Religious dogma prevents you from learning. It gives one picture of the world, one standard of morality, basically one way to live your life. Any other way is heresy, is out of limit. And I just can’t live with that. I can’t stop learning. It’s the only way that I can live my life to the fullest: to never stop learning.

Apakah Tuhan ada?

monty python's god

Apa yg buat kita yakin kalau Sinterklas tidak ada, Nyi Roro Kidul tidak ada?

Lalu kenapa kita bisa yakin bahwa Tuhan, khususnya Allah atau Yahweh (tergantung agama kita Islam atau Kristen) ada?

Kenapa “Tuhan” adalah Tuhan pribadi, yg bisa ambil keputusan dan punya kepribadian mirip manusia, punya perasaan spt manusia (marah, sedih, jealous, senang)? Kenapa kita bisa tahu pasti bahwa Tuhan punya kepribadian spt tertera pd kitab tertentu?

Lalu kalau seandainya Tuhan bukan pribadi, melainkan “alam”, “hukum alam”, dsb, kenapa kita masih sebut dengan nama “Tuhan”?

Kita tidak bisa buktikan bahwa Tuhan tidak ada, sama seperti kita tidak bisa buktikan Sinterklas dan Nyi Roro Kidul tidak ada. Tapi kita cukup yakin bahwa Sinterklas, Nyi Roro Kidul, dan Gatotkaca tidak ada, tanpa kita perlu membuktikan mereka tidak ada kan?

Beban pembuktian terletak pada mereka yg menyatakan bahwa suatu makhluk atau fenomena itu ada. Selama tidak ada bukti untuk peri gigi, dewi padi, maka sewajarnya kita tidak percaya keberadaannya. Hal yg sama berlaku untuk Tuhan/ Allah.

I believe this, you believe that

Bagaimana anda mempercayai sesuatu sebagai benar/ ada?

Banyak orang beragama bergantung pd iman, pada penglihatan supernatural, inspirasi pribadi, dan kitab berusia ribuan tahun. Tapi pada saat seseorang bergantung pd iman, dia akan merasa istimewa, merasa terpilih (the chosen people: http://en.wikipedia.org/wiki/Chosen_people). Lalu pada saat dia bertemu dan berdiskusi dengan orang yg memiliki iman lain, apa yg terjadi?

Mereka masing2 akan mengklaim yg dia percayai sebagai kebenaran (Allah mewahyukan ajarannya pd Muhammad, atau Tuhan mewahyukan pd penulis injil). Kitabnya yg benar, agamanya yg benar, tokoh agamanya yg benar (Yesus, Muhammad, dsb). Muslim akan menggunakan Qur’an, menggunakan mujizat2, bahkan pengalaman pribadinya sebagai bukti. Kristen akan menggunakan Alkitab, mujizat2, dan pengalaman pribadi juga. Tunggu dulu, apa beda antara argumen kedua belah pihak? Dan bukankah ratusan agama dan kepercayaan di dunia menggunakan alasan2 yg serupa? (kitab suci, pengalaman pribadi, mujizat2). Lalu, yg mana yg benar? Yang mana yg anda pilih?

Sebagian besar dari anda kristen, islam, hindu, atau buddha karena anda lahir di keluarga dgn agama tersebut. Anda lahir di Arab dan anda jd islam, lahir di Amerika Serikat dan kemungkinan besar anda kristen, lahir di India maka anda hindu. Apakah apa yg kita percayai ditentukan dari kita lahir di mana?

Ada jalan keluar dari rangkaian perdebatan ini. Kita bisa melihat keluar, melihat pd dunia, dan mendasarkan kepercayaan kita pada bukti nyata, hasil observasi yg bisa direplikasi dan diverifikasi (bisa diulang dan ditest oleh pihak lain di tempat lain). Kita menyatakan kebenaran dari apa yg kita “tahu” benar, daripada yg kita “percaya” benar.

Dengan ini tentu ada banyak misteri yg tersisa. Tapi pada hal2 yg tidak kita ketahui dengan pasti adalah jauh lebih baik dan jauh lebih rendah hati untuk menjawab “tidak tahu” daripada menjawab “tahu” apalagi menjawab “pasti benar”.

Egosentrisme Manusia

Salah satu masalah dalam pemikiran kita adalah egosentrisme. Kita cenderung memikirkan sesuatu secara sempit dari sudut pandang kita. Salah satu contoh ekstrem adalah egosentrisme manusia sbg spesies.

Egosentrisme manusia.

Manusia merasa sebagai makhluk istimewa yg diciptakan pertama kali dan satu2nya. Di mana makhluk lain, matahari bulan bintang dan keseluruhan alam semesta, hanya berperan sebagai dekorasi. Di mana gunung laut bunga2 indah dianggap hanya bertujuan sebagai penghibur mata manusia. Lebih dari sebagai spesies, bahkan manusia memiliki egosentrisme nya sendiri2 sebagai kelompok masyarakat dengan budaya, dan agama tertentu.

Egosentrisme agama.

Tiap agama menjadi sarana implementasi dari egosentrisme manusia pada budaya, daerah, dan kelompok masyarakat tertentu. Sebagai contoh, agama2 besar di dunia saat ini dimulai oleh Yahudi. Yahudi percaya bahwa mereka adalah masyarakat pilihan Tuhan, keturunan langsung (dan satu2nya?) dari manusia pertama. Kristen mengadopsi agama tsb dengan menambahkan Yesus sebagai mesias, dan memperluas definisi masyarakat pilihan Tuhan (menyertakan juga non-yahudi). Islam baru mengadopsi kepercayaan yg sama 7 abad setelah kristen, dengan penyesuaian pada adat arab, dan hukum2 yg keras.

Tiap agama adalah hasil dari implementasi egosentrisme manusia dalam budaya dan kelompok masyarakat tertentu. Islam pada budaya Arab. Kristen dan Yahudi pada budaya Israel. Mesir kuno dengan dewi Osirisnya. Bahkan Indonesia pun memiliki versi egosentrisme agamanya sendiri, spt Kejawen.

Gambar dari Hubble Ultra Deep Field. Tiap titik adalah satu Galaxy yg terdiri dari milyaran bintang, matahari kita adalah salah satunya.

Bila kita melihat betapa bervariasinya makhluk hidup di bumi, planet2 di tata surya, matahari di antara trilliunan bintang2 yang lain di galaksi kita, galaksi bima sakti di antara ribuan galaksi yg lain, apakah pantas bila kita memandang dunia hanya dari mata kita saja?.

Science dan Agama: Analogi Gagak

Gagak hitam

Gagak hitam

Seseorang pernah menanyakan ke saya, bagaimana science dibilang objektif.
Jalan pemikirannya seperti ini:

  • Apakah gagak berwarna hitam?
  • Bila 1000x pengamatan gagak ditemukan hitam, apakah itu jaminan bahwa gagak berikutnya di pengamatan ke 1001 tidak akan berwarna putih?
  • Kemudian apakah pernyataan “gagak berwarna hitam” bisa dibilang objektif/ fakta?

Tiap teori tentu didasarkan pada fakta2 (data2 empiris yg dikumpulkan) . Dan tidak ada jaminan bahwa data2 tsb akan selalu hasilnya sama. (selama ini apel jatuh selalu ke bawah, tetapi tidak ada jaminan bahwa di masa depan tidak akan pernah jatuh ke atas). Lalu kenapa bisa kita percaya terhadap fakta2 tsb, apalagi teori yg dibentuk dari fakta2 tersebut?.

Berikut ini jalan pemikirannya:

  1. Dalam suatu saat, kita bisa menyimpulkan suatu teori dan menyatakannya sebagai kebenaran, berdasarkan data2 yg kita punya pd saat tersebut.
  2. Selama gagak yg kita lihat berwarna hitam, dan kita sudah menemukan banyak sekali gagak (jelas bukan hanya beberapa), maka adalah normal bila kita menyimpulkan bahwa gagak berwarna hitam, dan kita juga bisa bilang bahwa kemungkinan gagak berwarna putih sangat kecil. (faktor2 lain: mutasi dna, dsb, tidak dihiraukan di analogi ini).
  3. Kalau tanpa menemukan satupun gagak putih, kemudian kita dengan kepastian dan percaya diri tinggi menyimpulkan, bahwa ADA gagak putih, bisa berbicara bahasa manusia, mendengarkan permohonan manusia dan mengabulkannya, kemudian menghukum manusia yg jahat, itulah agama.

Penjelasan analogi:

– Pada analogi di atas diasumsikan kita tidak mengetahui apa2 mengenai mutasi dna dan berbagai spesies gagak. (pengetahuan tambahan tsb digunakan untuk contoh penjelasan di bawah).

– “Semua gagak hitam” dan “gagak tidak bisa berbicara”, melambangkan teori sains yg dibentuk berdasarkan data empiris yg dikumpulkan pd suatu saat. Data2 berikutnya (misal: dna dan mutasinya) bisa digunakan untuk update dari teori lama menjadi “tidak semua gagak berwarna hitam” (gagak bisa albino). Tiap update baru tentunya harus diperkuat dengan data2 pendukung yg memadai, sesuai dgn besarnya klaim yg diberikan.

– Bagaimana dengan gagak yg dapat berbicara, mengabulkan permintaan orang (seperti jin Aladdin), seperti pada poin 3 di atas?. Klaim sebesar itu, tentunya membutuhkan pembuktian yg jauh lebih besar daripada hipotesa2 biasa.

– Perasaan atau kepercayaan seseorang sama sekali tidak mempengaruhi keberadaan gagak. Entah gagak ‘ajaib’ itu ada, atau tidak ada. Dengan mengganti definisi gagak tentu bukan jawabannya. Karena kita tidak bisa membuktikan gagak putih ada / tidak ada, maka yg kita bisa lakukan adalah memberikan probabilitas, yang bukan 0% dan bukan 100%, tetapi di antaranya.

– Besarnya suatu klaim, banyaknya dan luar biasanya kemampuan gagak putih, banyaknya dan luar biasanya kemampuan TUHAN (the invisible super-gagak), membuat klaim tersebut membutuhkan pembuktian yg sesuai, yg tentu jauh lebih banyak daripada klaim lain yang normal. (Saksi mata tidak cukup, fotopun tidak cukup, penelitian spesimen di lab dan x-ray anatomi gagak ‘ajaib’ tsb bisa saja jadi bukti yg bagus dan mencukupi).

– Tidak adanya bukti keberadaan gagak putih ‘ajaib’, tidak adanya bukti keberadaan TUHAN, membuat probabilitasnya sangat kecil.

– Inti cerita bukan terletak pada “gagak”, tetapi pada konsep kompleksitas dan besarnya suatu klaim, dan probabilitas klaim tsb. Argumen ini dapat diterapkan pada contoh apapun.